Seminggu kemudian setelah Avie-senpai merasa sangat tersakiti dan akhirnya tenang …

Suasana kembali aman setelah itu, bukan pada pagi ini. Ami, Ayumi, Tomoka, dan Eri berulah lagi di hadapan kakak kelas IX. Setelah dilihat-lihat, ternyata mereka memaksa siswi kelas IX Muslimah untuk berdekatan dengan siswa kelas IX Muslim meskipun dilarang. Alasan mereka adalah, untuk membuat suasana seperti film favorit mereka di Indovision (TV Langganan) yang dibeli di Indonesia. Judulnya dirahasiakan menurut Anis-senpai, pokoknya menurutnya adalah cerita sebuah sinetron dari Indonesia. Seragamnya, tentu saja berantakan dan kemejanya tidak dimasukkan. Kami tetap merahasiakan judul film itu sampai penyelidikan secara rinci selesai dilaksanakan oleh Pramuka SMP Juunichirou bersama OSIS.

Aku dan Asami sangat terkejut dan tidak percaya dengan kejadian ini. Tak disangka, inilah kejadian yang kedua kalinya terjadi di sekolah kami. Tampaknya, Asami juga merahasiakan judul filim tersebut walaupun mereka berempat sangat menyukainya hingga episode terakhir. Sepertinya, para kakak kelas IX Muslim dan Muslimah disuruh pelukan meskipun sikap mereka berempat sangat bossy (sok mengatur). Aku salut kepada kakak-kakak kelas IX Islam yang telah menjaga iman mereka. Karena insiden tersebut, semua penasaran dan ingin melihat insiden tersebut. Tiba-tiba …

“Eh, semuanya masuk!” seru Sakurai-sensei memperingatkan kami.

“Masuk ke kelas masing-masing karena pelajaran akan dimulai!” seru Akiyama Buchori Mitsuo-sensei, guru Sejarah Kebudayaan Islam kelas Muslim dan Muslimah.

“Masuk!” seru Gentarou Kojirou-sensei, guru kesenian dengan lantang.

“Untuk seluruh siswa-siswi SMP Juunichirou, diharapkan untuk masuk ke kelas masing-masing,” kata Kepala Sekolah kami, Komamura Akira-sensei.

Kemudian, kami masuk ke dalam kelas masing-masing bersama murid yang lainnya. Tetapi, Fujimura-sensei memberi tugas kepada Anis-senpai untuk mencatat kejadian ini dari awal sampai akhir mulai tadi pagi. Tiba-tiba …

“Anis-san!” seru Jessima-senpai sambil memegang tangan Anis-senpai.

“Apa? Aku harus turun ke lapangan agar laporan kasus ini bisa dijadikan perilaku tersangka!” tolak Anis-senpai, “Nanti, aku ingin mengadukan masalah ini ke Arwen-kouhai!”

“Tidak bisa! Dia masih kelas III! Mana mungkin dia mengetahui kasus ini?” omel Jessima-senpai.

“Kasus ini akan dimasukkan ke dalam daftar ulah pelaku dan …,” kata Anis-senpai.

“HENTIKAN!” seru Avie-senpai memotong perkataan Anis-senpai, “Maaf telah memotong kata-katamu, Anis-chan. Aku menghentikan pertengkaran ini demi terselesaikannya masalah.

“Katakan pada kelas IV sampai VI di SD Juuichirou, karena mereka telah memasuki usia pubertas pada kelas tersebut mereka jadi tahu,” Arini-senpai memberikan saran, “Umur kelas IV sampai VI antara 9-12 tahun.”

“Benar juga, kau harus menyarankan Ramadhani-kouhai agar meminta info dari kakak-kakak kelasnya yang tadi disebutkan Arini-san menurut usianya,” kata Jessima-senpai yang akhirnya sadar.

“Mungkin dia erat dengan detektif SD Juuichirou, namanya Mamoru Al Walid, kelas VI. Aku adalah saudaranya,” kata Mamoru Khalila-senpai.

“Eh … yang benar? Kalau berita ini menyebar ke mana-mana, pasti TWIBI WINX akan mengejek Ramadhani-kouhai!” tanya Jessima-senpai terkejut, “Mereka adalah Watanabe-kouhai, Rurichiyo-kouhai, Rusaburou-kouhai, dan Daiichirou-kouhai. Mereka pasti iri dan ingin seperti Generasi Pertama JKT*0075* secara berlebihan!”

“Terus … muka SD Juuichirou mau dibawa kemana?” seru Syatila-senpai, “Kasus TWINX, kasus sekarang, jadinya repot, kan?”

“Informasi ini sebenarnya nggak jelas dari mana, yang penting kita harus menemukan apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa ini!” kata Seksi Upacara VIII Muslimah, Kanza Muthmainnah.

Sementara itu di kelasku, kebetulan ada pelajaran Bahasa Inggris. Pelajaran inilah yang disukai Avie-senpai sejak SD sampai sekarang. Kami belajar tentang tata kalimat dalam bahasa Inggris. Apalagi kami harus menghadapi beberapa Grammar yang selalu banyak kesalahan di situ. Padahal itu sangat gampang untuk dicoba, apalagi ketika pelajaran ini berlangsung.

Kemudian, pembicaraan oleh kelas VIII Muslimah terhenti oleh hentakan kaki guru Matematika mereka yang terkenal enak dalam mengajar, namanya Shirakawa Umar-sensei. Shirakawa-sensei adalah guru Matematika kelas VIII Muslim dan Muslimah, sementara yang mengajar Matematika kelas VIII biasa adalah Sakuragawa Miho-sensei. Sesaat kemudian, Jessima-senpai menyiapkan kelas VIII Muslimah saat Shirakawa-sensei datang. Hari ini, mereka akan mempelajari tentang Fungsi yang merupakan keahlian matematika ayahku sejak SMP. Seandainya aku naik kelas VIII, aku harus meminta ayahku untuk mengajariku beberapa cara tentang pembahasan itu. Ya sudahlah, abaikan saja …

Shirakawa-sensei juga wali kelas VIII Muslim yang terkenal ramah dengan murid-muridnya. Sehingga banyak siswa yang pintar matematika hingga jenjang olimpiade matematika. Di antaranya, Dwi Kurnia Ramadhan-senpai dengan sahabatku sejak SD, Watanabe Nabil Harunobu. Dia adalah sosok siswa kelas Muslim yang pintar dan bisa merebut juara 5 besar. Tiba-tiba, kira-kira saat pelajaran Bahasa Inggris oleh Kimishima Fathimah-sensei yang tidak hadir …

“PENGUMUMAN!” seru Yoshitsune Mirai-sensei lewat ruang audio-visual untuk penyampaian pengumunan, Ketua Kesiswaan sekolah kami. Dia adalah suami dari teman SMP ibuku yang bernama Yoshitsune Yui.

“SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB DARI INSIDEN MENGHEBOHKAN PADA PAGI INI …? ” tanya Yoshitsune-sensei hingga terdengar ke speaker seluruh kelas.

Avie-senpai berada di barisan kedua yang terdekat dengan meja guru, tetapi dia duduk di meja di depan meja Arini-senpai. Dia mudah terdengar ketika sedang membaca buku yang ada di sebelahnya. Ketika ingin membuka halaman selanjutnya …

“YANG PENTING, MASALAH INI DIPERLAKUKAN OLEH KELAS VII DAN HARAP MENGAKU!” lanjut Gunjima Toshiro-sensei, wali kelas VIII-1. Kebetulan dia adalah asisten Maeda-sensei. Buku yang dibaca Avie-senpai nyaris sobek di halaman yang dia akan buka. Dia membaca buku enskilopedia yang terdapat di lemari buku. Setiap kelas disediakan lemari buku jika kami ingin membaca.

Sementara itu di kelasku, kami mendengar suara tersebut dari speaker ketika kami sedang mengerjakan tugas Matematika. Pikiranku benar! Ternyata, Eri, Ayumi, Tomoka, dan Ami benar-benar pelakunya, tetapi mereka tidak mau mengaku dan tidak menghiraukan suara dari speaker. Hari ini adalah hari di mana telinga kami merasa bagaikan dibakar …!

Waktu terus bergulir hingga detik-detik jam pelajaran berakhir …

Siswa-siswi yang beragama islam segera melaksanakan sholat Dzuhur, sedangkan yang beragama lain maupun yang berhalangan sholat (bagi islam) segera ke ruang kafetaria untuk makan siang. Setelah sholat Dzuhur sambil berdoa bersama, setiap harinya sering diadakan ceramah oleh imam untuk motivasi. Apalagi untuk yang mau ujian, mereka perlu sekali motivasi dari guru. Untungnya, imam kali ini adalah Mizusawa-sensei yang memberikan motivasi agar fokus ke pelajaran dan tidak usah memikirkan temanku yang selama ini mengecewakanku dengan harapan palsu ketika sekelompok dengan mereka.

Sementara itu di kafetaria, aku dan Asami membicarakan tentang kasus yang terjadi. Benar, mereka berempat memang tak mau mengakui perbuatan mereka. Ketika bel masuk berbunyi, kami semua masuk ke dalam kelas masing-masing. Jam pelajaran terakhir, kelasku ada pelajaran Sastra Jepang oleh Tendou Haru-sensei sedangkan kelas VIII Muslimah ada pelajaran Geografi oleh Takamichi Rahmatullah Mitsuharu-sensei, guru Geografi kelas VIII Muslim dan Muslimah serta IX Muslim dan Muslimah. Hari ini, mereka akan diberi tugas menggambar Pulau Hokkaido di Milimeter Block (buku berpetak besar yang biasa digunakan untuk menggambar peta).

“Baiklah anak-anak, kalian harus menggambar wilayah Jepang pada Pulau Hokkaido. Jika sudah selesai, silahkan dikumpulkan,” kata Takamichi-sensei.

“Ya, sensei,” seru seluruh kelas VIII Muslimah.

Ketika tugas tersebut dimulai, tiba-tiba Avie-senpai kaget lagi dengan suara yang terdengar pada speaker hingga gambarnya tercoret.

“JADI, TIDAK ADA YANG MENGAKU SAMA SEKALI DARI KELAS VII!? JADI, SELURUH SISWA-SISWI DI SINI SAYA HUKUM SEMUANYA! KALIAN HARUS MENETAP DI KELAS SELAMA 15 MENIT!” omel Gentarou-sensei dengan lantang lewat ruang audio-visual.

Astaghfirullahal’adzim … gumam Avie-senpai sambil menghapus coretan yang berada di gambarnya ketika dia kekagetan.

“Mungkin gara-gara mereka berempat nggak mau mengaku, jadinya begini …,” kata Arini-senpai sambil mengamati suara yang terdengar lewat speaker.

“Sudahlah, masalah ini tidak usah terlalu dipikirkan. Lanjutkan tugas kalian dan dengarkan apa kata Gentarou-sensei,” kata Takamichi-sensei, “Kalian perlu tahu, Allah Maha Melihat semua yang telah terjadi sejak tadi pagi hingga sekarang. Kalian perlu sabar menghadapi semua ini, apalagi insiden yang menghebohkan.”

Sementara itu di ruangan audio visual …

“Maaf, Gentarou-san … mana mungkin semuanya bersalah? Saya mendengar hasil investigasi dari kelas VIII Muslimah bahwa pelakunya adalah Daiichirou, Rurichiyo, Rusaburou, dan Watanabe dari VII-5. Bukti tersebut benar menurut OSIS dan Pramuka dari sekolah kita, SMP Juunichirou,” kata Fujimura-sensei mengingatkan, tetapi suaranya masih terdengar di speaker dari audio visual.

Sesaat kemudian, seluruh kelas senang sekali hingga ketua maupun pengurus kelas berteriak, “KITA TIDAK JADI DIHUKUM …!!!!” sebagai ungkapan rasa senang mereka. Untuk kelas Muslim dan Muslimah, mereka bersyukur dengan Yang Maha Kuasa karena terbebas dari hukuman untuk semuanya. Kemudian, pelajaran berlangsung dengan tenang dan tiba-tiba terdengar lagi suara lewat ruangan audio-visual.

“UNTUK YANG BERNAMA DAIICHIROU AMI, RURICHIYO TOMOKA, RUSABUROU AYUMI, DAN WATANABE ERI, KALIAN HARUS MENETAP DI KELAS SELAMA 15 MENIT ATAS PERBUATAN KALIAN! UNTUK OSIS 2011-2012 DAN 2012-2013, KALIAN DIBERI TUGAS UNTUK MENJAGA MEREKA AGAR TIDAK KE MANA-MANA,” kata Gunjima-sensei kemudian.

“Baiklah … Sensei, kami laksanakan,” kata Arini-senpai. Di meja pun ada microphone yang bisa menyambung. Benar-benar sekolah unggulan bagi sekolah kami …

“Aku tahu jalan keluarnya! Pasti lewat penjagaan ketat dan harus mengomeli mereka ketika protes atas hukuman yang diberikan!” seru Jessima-senpai.

Beberapa menit kemudian, bel pulang berbunyi. Semua pulang ke rumah kecuali Ayumi, Ami, Tomoka, dan Eri. Aku sedikit puas tetapi banyak masalah yang harus kuhadapi dengan tanganku. Sementara di kelasku …

“Berani banget kalian! Seharusnya hormati agama lain ketika ada kegiatan! Kalian malah menyuruh laki-laki dan perempuan untuk berdekap tangan!” omel Isna Kamila-senpai.

“Tapi …,” kata Ayumi gugup.

“Itu salah kalian sendiri!” seru Muthmainnah-senpai.

“Meskipun berbeda agama, kalian seharusnya hormat. Nyatanya kejadian ini ada gara-gara kalian!” kata Dwi Kurnia Ramadhan-senpai tegas, “Avie-san telah mengusahakan apapun dalam kasus ini. Kalian tidak boleh memaksa kehendak jika sudah ditentukan.”

“Benar apa kata Rama-san!” kata Wataru-senpai yang terlambat datang.

“Kita sebenarnya nggak salah, kok kita disalahkan! Mungkin ada yang melakukannya!” seru Ami marah.

“Kalian jangan seenaknya protes! Ini salah kalian, seharusnya kalian jangan mempersulit 0075 Generasi 2 hingga kasus ini sampai ke SD Juuichirou. Kalian alumni sana, jadi kalian tidak menuruti nasihat guru-guru kalian sejak kelulusan!” omel Syatila-senpai.

“Tapi …,” keluh Eri.

“Nggak boleh ada kata ‘tapi’! Sekarang, kalian berempat cepat keluar!” seru Wataru-senpai.

Kemudian, mereka dijaga oleh OSIS keluar menuju lapangan di dekat tiang bendera sekolah kami. Pada saat itu, mereka masih saja protes sementara Rifani-senpai masih mengatur barisan mereka. Kasihan Aulia-senpai, dia kewalahan untuk mengatur mereka sehingga …

“Awas kalian, aku harus meminta bantuan ummi untuk ini!” isak Arini-senpai.

“Arini-san …!” OSIS segera menghampirinya.

“Tomoka dan Eri … tiba-tiba … memarahi hingga nyaris terjadi percekcokan …,” katanya sesenggukan.

“Sama, Ami juga!” teriak Syatila-senpai.

Tampaknya, sudah sangat parah kenakalan mereka pada OSIS setelah kasus itu terjadi. Kemudian, Maeda-sensei datang menegahi pertengkaran ini. Pembalasan air mata ini adalah yang paling heboh dalam sejarah 0075. Sejak 2011, Avie-senpai bisa menghadapi musuh terbesarnya dari kelas VII sendirian. Walaupun banyak yang menenangkannya hingga insiden tahun kemarin bagaikan HOME DRAMA yang sering ada di TV.